Senin, 28 Juli 2014

Asal Mula Palabuhanratu

Share it Please



Nama resminya adalah Palabuhanratu. Bukan Palabuhan Ratu atau Pelabuhan Ratu. Ejaan atau dialek setempat menyebutnya dengan Palabuan Ratu. Namun dari mana kah asal kata Palabuhanratu tersebut ? Ada banyak cerita, mitos, sejarah yang melatarbelakangi Palabuhanratu. Sebagian besar tidak lepas dari kepercayaan akan keberadaan Ratu Kidul sebagai penguasa pantai selatan. Apakah Ratu yang dimaksud sama dengan Ratu Kidul dalam mitologi Jawa atau Yogyakarta ?


Hal yang mengherankan adalah sebagian besar penduduk setempat, termasuk angkatan udzur, gelap untuk menceritakan asal musal Palabuhanratu. Kebanyakan hanya akan bangga dengan kata 'Ratu' yang berarti besar dan mulia. Apakah karena kurangnya tradisi lisan untuk sekedar menceritakan silsilah nenek moyang orang Palabuan ? Ingatan terjauh menyangkut sejarah Palabuan adalah pembangunan jembatan Bagbagan pada masa Ratu Yuliana. Berarti itu jamannya penjajahan Belanda. Bagaimana sebelum itu? Sejauh mengenai karuhun ini, malah terjadi anomali dengan banyaknya penduduk luar Palabuan, khususnya Bogor, yang berburu karuhun di Palabuhanratu. Mengapa demikian ?

Ada tiga hal lagi yang menjadi catatan penting sekitar asal muasal Palabuhanratu. Pertama adalah situs megalitik Tugu Gede Cengkuk, di Cikakak. Menilik tampilan megalit-nya, kemungkinan adalah peninggalan masa neolitikum  sekitar 10.000 SM (masih hipotetif). Setidaknya kajian mengenai situs ini masih sama gelapnya dengan temuan punden berundak di Gunung Padang Cianjur. Hal kedua adalah Samudra Beach Hotel yang dibangun Bung Karno. Tentu saja dengan kamar khusus 308-nya. Yang ketiga adalah - hari hari ini mulai mendapat perhatian - keberadaan komunitas Cipta Gelar dengan acara tahunan Seren Taun. Sebenarnya ada hal terakhir yang menjadi 'ciri khas' daerah ini. Yaitu Ma Erot : Penis Enlargement Sepecialist.


Kalau begitu, dari mana kita memulai sejarah Palabuhanratu ? 

Nampaknya periode Pajajaran Runtag (runtuhnya Pajajaran) menjadi titik awal berdirinya Palabuhanratu. Masa keemasan Pajajaran terjadi ketika Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi bertahta antara tahun 1482 - 1521. Setelah itu perlahan lahan pamornya memudar. Pada masa penggantinya, Prabu Surawisesa (1521-1535), Pajajaran telah kehilangan hampir separuh wilayahnya ( termasuk Cirebon, Galuh, dan Sunda Kalapa). Raja raja setelahnya belum juga menunjukan kualitas setara Siliwangi. Berturut turut seetelah itu adalah Prabu Ratu Dewata (1535-1543), Ratu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakendra (1551-1567) dan Raja terakhir adalah Prabu Raga Mulya Suryakancana (1567-1579). Pada masa Nilakendra, Pakuan sebagai ibukota Pajajaran sudah mulai di tinggalkan penduduk kota. Pada tahun 1579 Pakuan jatuh ke tangan Kesultanan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf. 

Yang menarik adalah Pajajaran runtuh oleh perang antar cucu cicit Prabu Siliwangi. Boleh dikatakan, ini perang konyol antar saudara sendiri. Bila dirunut, maka kita bisa memulainya dari berdirinya Kesultanan Cirebon. Kesultanan Cirebon pada mulanya didirikan oleh Pangeran Cakrabuana atau Raden Walangsungsang. Raden Walangsungsang adalah anak Prabu Siliwangi dari istrinya yang muslimah, Subang Larang. Adik adik  Raden Walangsungsang adalah Nyai Lara Santang dan Raden Sangara. Dari Nyai Lara Santang lahirlah Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati menjadi sultan menggantikan Pangeran Cakrabuana alias Raden Walangsungsang. Salah seorang putera Sunan Gunung Jati yang bernama Maulana Hasanuddin menjadi sultan pertama di Kesultanan Banten. Sultan Hasanuddin kemudian digantikan oleh Sultan Maulana Yusuf, yang kemudian membumihanguskan Pakuan disaat Raga Mulya Suryakancana bertahta. Bukankah ini perang antar teureuh Pajajaran, keturunan Prabu Siliwangi ?

Kita tidak akan mempersoalkan latar belakang perang antar teurueh Pajajaran itu. Yang Jelas ibukota Pakuan memang dibumihanguskan oleh pasukan Kesultanan Banten pada saat itu. Prabu Raga Mulya menyingkir ke luar kota bersama dengan para pengikutnya. Melihat gelagat jaman, pengikut dan rakyat yang masih setia mengikutinya, akhirnya Prabu Siliwangi V ini berpidato dihadapan mereka. Sebuah pidato perpisahan monumental. Orang kemudian mengenang dan mengenalnya dengan Wangsit Siliwangi

Kala itu Prabu Sedah Raga Mulya Suryakancana berpidato di hadapan rakyat dan pengikut setianya. Di tengah suasana murung yang menyelimuti Pajajaran, beliau mengucapkan pidato perpisahan monumental yang kemudian dikenal dengan Wangsit Siliwangi. Wangsit ini sebenarnya panjang. Namun yang berkaitan dengan asal muasal Palabuhanratu justru terdapat pada bait bait awal dari wangsit.


“Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.”

“Perjalanan kita hanya sampai hari ini, walaupun kalian semua setia padaku! Aku tidak boleh membawa kalian menjadi turut menderita, hina dan kelaparan. Kalian boleh memilih, demi masa depan, jalan untuk hidup bahagia dan sejahtera, dan kelak mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran seperti saat ini, tapi Pajajaran yang baru, yang berdiri di tengah perubahan jaman! Pilih! aku tidak akan menghalang halangi. Sebab bagi ku, tidak pantas seseorang menjadi raja ketika rakyatnya lapar dan menderita.”


Dalam mukadimah wangsitnya, Suryakancana mengakui ini lah saat saat senja Pajajaran. Suatu pengakuan yang jujur dan realistis. Di saat seperti itu, beliau mempersilakan rakyat dan pengikutnya untuk menimbang nimbang berbagai pilihan. Tulus beliau katakan, pilihan untuk tetap setia pada raja saat itu adalah pilihan untuk menderita dan kelaparan. Tidak ada larangan untuk mereka yang tidak akan menempuh jalan raja.

Inilah tipikal mental raja atau urang Sunda jaman baheula. Jujur, tegas, dan mengedepankan harga diri. Sikap serupa pernah ditunjukkan Prabu Lingga Buana dan Dyah Pitaloka di perang Bubat. Mereka lebih baik mati dari pada hidup ditengah bayang bayang penghinaan orang lain.

Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!


Dengarkan! Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke selatan! Yang ingin kembali lagi ke ibukota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke utara! Yang ingin berbakti kepada raja yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke timur! Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat!


Empati seorang raja terhadap suasana psikologis pengikutnya. Raga Mulya tanggap menangkap apa yang berkecamuk dalam hati dan pikiran rakyatnya kala itu. Alih alih memaksa untuk setia mengikuti rajanya, beliau malah memberikan kebebasan untuk memilih jalan hidup. 

Sebagian yang setia pada raja akhirnya benar benar pergi ke selatan. Mereka pada umumnya mengambil rute Pakuan, Bantar Gadung dan akhirnya Palabuhanratu. Setidaknya rute ini terdokumentasi dalam Pantun Bogor. Mereka yang ke selatan inilah yang akhirnya membuka permukiman baru, Palabuhanratu. Namun pelarian melalui rute ini tidak lah mudah. Karena saat itu Pasukan Banten masih tetap mengejar sisa sisa pasukan yang setia kepada Raga Mulya. Kisah kisah menarik mewarnai perburuan terakhir darah biru Pajajaran. Termasuk di dalamnya cinta, pengkhianatan, keyakinan, dan peperangan itu sendiri. Sebuah epik yang mengharu biru, namun terkubur dalam debu sejarah.

Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!

Dengarkan! Kalian yang memilih ke timur harus tahu: Kejayaan akan menyertai kalian! Keturunan kalian bakal memerintah di antara kalian sendiri dan juga orang lain. Tapi ingat, kalian nanti bakal lupa diri. Bakal ada pembalasan untuk ini. Silahkan pergi!

Obyek yang dituju kelihatannya merujuk pada kekuatan Kesultanan Cirebon kala itu. Angin jaman memang memihak Cirebon kala itu. Betapa tidak, kesultanan ini melewati masa keemasannya di bawah Sunan Gunung Jati, berfungsi dan dihormati sebagai pusat penyebaran agama Islam di tanah Sunda, masih eksis di jaman Mataram Islam, bertahan selama masa penjajahan Belanda, dan kesultanan ini secara de fakto masih berdiri dalam kerangka Republik Indonesia (Kanoman dan Kasepuhan). Tidak salah kalau wangsit ini mengatakan mereka yang masih menginginkan kekuasaan untuk pergi ke Cirebon (timur) mengingat panjangnya umur kesultanan ini. Peluang untuk merengkuh kekuasaan terbuka lebar di sana. Namun kita tidak tahu kala itu siapa pengikut Raga Mulya yang benar benar pergi ke Cirebon. Dan turut berkuasa di sana, lupa diri, dan dan kemudian terkena karma.

Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. 

Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!

Kalian yang memilih pergi ke barat! Carilah Ki Santang! Sebab di masa depan, keturunannya akan menjadi orang bijak  yang akan mengingatkan diri kalian dan orang lain. Juga menjadi pengingat kepada bekas teman teman kalian senegara, dan seiman yang masih lurus hatinya. 


Ingatlah, bila suatu malam, dari gunung Halimun terdengar suara kentongan, itulah tandanya. Keturunannya akan dipanggil oleh yang mau menggelar hajatan di Lebak Cawéné. Jangan lamban, sebab telaga akan pecah! Silahkan segera pergi! Tapi jangan menoleh kebelakang!

Inilah bait bait pertama wangsit yang paling banyak menuai kontroversi sampai saat ini. Siapa ki Santang ? Dimana Lebak Cawene? Namun mengingat tempat yang dimaksud adalah Gunung Halimun, kita bisa memperkirakan sebagian pengikut Raga Mulya memang ada yang  benar benar pergi ke tempat ini dan mendirikan permukiman baru dengan mempertahankan tradisi lama Pajajaran. Kita sekarang mengenalnya dengan Kasepuhan adat Banten Kidul. Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul melingkup beberapa desa tradisional dan setengah tradisional, yang masih mengakui kepemimpinan adat setempat. Terdapat beberapa Kasepuhan di antaranya adalah Kasepuhan Ciptagelar, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cisitu, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek, serta Kasepuhan Cibedug. Kasepuhan Ciptagelar sendiri melingkup dua Kasepuhan yang lain, yakni Kasepuhan Ciptamulya dan Kasepuhan Sirnaresmi. Visi raja yang mengatakan mereka yang pergi kebarat adalah orang orang netral, benar adanya. Dari jaman ke jaman, mereka tidak terdengar terlibat dalam politik pemerintahan yang berkuasa saat itu. Baik masa kesultanan Banten, Mataram Islam, Belanda, hingga Republik indonesia. 


Dengan demikian kita sudah 'menemukan' benang merah kaitan antara komunitas Cipta Gelar dengan asal muasal berdirinya Palabuhanratu. Namun tetap saja tidak menjawab siapa Ki Santang, mana keturunannya, suara kentungan yang bagaimana yang dimaksud Siliwangi, dan di mana Lebak Cawene.

Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada!

Kalian yang memilih ke utara, dengarkan! Ibukota yang akan kalian datangi takkan pernah bisa kalian temukan. Yang akan kalian temukan hanyalah padang ilalang yang harus dibersihkan. Keturunan kalian nantinya  kebanyakan hanya akan menjadi rakyat biasa. Kalau ada yang jadi pejabat pun tidak akan punya kekuasaan.  Ingatlah, kalian nanti akan terdesak oleh para pendatang. Dan akan banyak lagi orang yang datang, tapi pendatang yang menyusahkan. Waspadalah!

Ini adalah pilihan sebagian orang orang yang ingin kembali ke Dayeuh, ke Pakuan, bekas ibukota Pajajaran. Nampaknya banyak juga keturunan Pajajaran yang kembali ke Pakuan, atau kota Bogor sekarang dan beranak pinak disana. Mereka kelihatannya tipikal orang yang tidak bisa begitu saja menghilangkan memori tanah kelahiran. Namun inilah visi Siliwangi terhadap orang orang yang pergi ke utara : mereka kelak hanya akan menjadi rakyat biasa. Kalaupun ada yang menjadi pejabat, tak kan punya kekuasaan. Dan yang lebih mengenaskan, mereka akan terdesak oleh para pendatang. Yang dalam bahasa Siliwangi : pendatang yang menyusahkan.

Visi Raga Mulya mengenai orang yang balik ke Dayeuh ini telah terjadi dan benar adanya. Mereka yang benar benar balik ke sana hanya menemukan bekas ibukota ini telah menjadi puing puing yang kemudian ditumbuhi ilalang semak belukar. Akhirnya lambat laun dilupakan orang. Reruntuhan bekas istana Pajajaran ini akhirnya ditemukan kembali oleh Scipio, orang Belanda yang melakukan penelitian mengenai Pajajaran sekitar 1687. Berarti hampir 100 tahun setelah Pakuan dibumihanguskan Banten.

Berdasar bait wangsit ini, tak heran kalau banyak keturunan Pajajaran (yang bertahan di Bogor) yang mencari jejak karuhunnya di Palabuhanratu. Bagaimanapun situasi saat itu memungkinkan satu saudara terpisah karena memilih pilihan yang berbeda. Sekali lagi kita telah bisa menjawab banyaknya orang Bogor masa kini yang mencari jejak karuhun di Palabuhanratu.

Ayunan pendulum sejarah telah bergerak ke daerah selatan tanah Pasundan. Bagaimana nasib para pelarian ini, kita lanjutkan di posting berikutnya.

Setelah mendengarkan pidato perpisahan dari Raja, massa pengikut Raga Mulya Suryakancana mulai melakukan komunikasi antar mereka sendiri dan perlahan terhimpun dalam empat kelompok. Tiga kelompok  kemudian pamit kepada sang Raja untuk menempuh tujuannya masing masing : utara, barat, dan timur. Sedangkan sebagian besar tetap bertahan bersama Raja mereka untuk bergegas ke selatan.

Maka dimulailah evakuasi yang mengubah sejarah Sunda selanjutnya. Pasukan Banten tentu saja mengejar kelompok Raja yang bergerak ke arah selatan. Terjadilah pertempuran sepanjang jalan. Prajurit Pajajaran menggunakan taktik bertempur sampai mati untuk menahan laju musuh sembari memberi kesempatan kelompok inti Raja untuk menjauh. Sementara kelompok inti Raja pun memecah diri dalam kelompok lebih kecil untuk memecah konsentrasi musuh. 

Sebuah pecahan kelompok Raja bahkan hanya beranggotakan tiga orang, yaitu Rahyang Kumbang Bagus Setra, Nyi Putri Purnamasari, dan Rakean Kalang Sunda. Mereka diburu oleh pasukan Banten yang dipimpin oleh Jaya Antea. Kejar mengejar kelompok ini akhirnya sampai di Pantai Selatan Tanah Sunda. Sebelum menceritakan bagaimana kisah mereka, kita perlu kembali ke belakang sejarah untuk melihat kaitan antar empat orang yang bertempur ini.

Nyi Purnamasari adalah putri sulung dari istri ke tujuh Prabu Sedah Raga Mulya Suryakancana atau Siliwangi V.  Kecantikannya luar biasa, sehingga tak heran banyak para pangeran dan bangsawan yang berebut memperistrinya. Dua orang 'kontestan' terkuat adalah Jaya Antea yang kala itu menjabat Mantri Majeuti (sekretaris Negara) dan Rahyang Kumbang Bagus Setra seorang pangeran kerajaan bawahan Pajajaran, yaitu Pajajaran Girang.

Nyi Purnama Sari lebih memilih sang Pangeran Pajajaran Girang. Merasa cintanya tak sampai, Jaya Antea memilih mundur dari jabatan dan diam diam mulai bergabung dengan komunitas Islam yang mulai berkembang terutama di daerah Banten. Rupanya Jaya Antea orang cerdas yang tanggap menangkap perubahan jaman. Dia melihat Banten sebagai calon penguasa baru tanah Pasundan di era berikutnya. Sementara pengikut Islam mulai tumbuh dan berkembang dari timur dan barat Pajajaran dalam jumlah yang berlipat setiap harinya. Akhirnya dia memutuskan untuk masuk Islam dan berganti nama menjadi Al Kowana. Dan tidak lama kemudian menunaikan ibadah haji. 

Sepulang haji dia kemudian menghadap ke Sultan Maulana Yusuf di Kesultanan Banten. Kepada Sultan Banten dia mengaku sebagai Prabu Anom putra mahkota Pajajaran yang bernama Rahyang Santang Aria Cakrabuana. Inilah memang keanehan atau kecelakaan sejarah. Antara Jaya Antea dan Prabu Anom memang mirip, sehingga orang yang tidak mengenal lebih dalam sukar membedakan keduanya. Dia mengaku telah masuk Islam dan melakukan ibadah haji dan mohon dukungan sultan untuk mengislamkan Pajajaran yang masih 'kafir'.

Sultan yang terpedaya akhirnya merestui. Disamping sudah dua kali ini pasukan Banten menyerbu Pakuan, tapi dua kali itu juga dapat dipatahkan Pajajaran. Setelah mendapat restu sultan, akhirnya Jaya Antea menyusun strategi baru untuk merebut Pakuan. Dia paham, sebagai bekas orang dalam, bahwa benteng Pajajaran bukan dibuat oleh orang sembarangan. Benteng ini pertama kali dibangun oleh Prabu Banga, Raja Sunda Kuno era Sunda Galuh. Kemudian disempurnakan oleh Sri Baduga Maharaja dengan campuran teknologi benteng ala Portugis. 

Dia tidak melakukan serangan frontal seperti sebelumnya. Berbekal dulunya memang orang dayeuh dan kemiripan dengan Prabu Anom, dia melenggang memasuki benteng Pakuan dengan leluasa. Sungguh penyamaran yang sempurna. Setelah beberapa lama mengamati situasi, akhirnya dia menyimpulkan bahwa bila berhasil membuka Lawang Gintung (salah satu pintu gerbang Pakuan), maka Pasukan Banten akan dengan mudah meluluh lantakkan Pakuan.

Dan benar saja, pada hari yang ditentukan, dengan terbukanya Lawang Gintung, maka pasukan Banten dengan leluasa membumi hanguskan terutama lima bangunan utama istana Pakuan, yaitu Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati atau "panca persada" (lima keraton). Suradipati adalah nama keraton induknya. Semuanya dibumihanguskan dalam semalam.

Dari masa lalu, kita kembali ke pertempuran antara kelompok kecil Nyi Ratu Purnamasari dengan Pasukan Banten Jaya Antea.

Epik tentang cinta, pengkhianatan, keyakinan dan peperangan terus berlanjut. Jaya Antea yang masih memendam bara cinta terhadap Nyi Ratu Purnamasari terus membuntuti rombongan kecil ini. Di suatu tempat di Bantargadung dua kelompok yang dari segi jumlah tidak seimbang terus bertempur sampai malam menghentikan pertumpahan darah itu. Pada malam itulah terjadi dialog antara Jaya Antea dengan Ki Kalang Sunda,

Jaya Antea : " Rakean....  kaula datang rain eudeuk nangtang perang... ! Tapi ngajak dia hirup dina jaman anyar ambeh dimana jaga, anggeus paeh hirup deui, nguenah ngeunah dipirig bidadari nu gareulis.... "

( Rakean... aku datang bukan hendak menantang perang... ! Tapi mengajak kamu hidup di jaman baru. Agar pada saat dibangkitkan nanti setelah mati, kita dikelilingi bidadari teramat cantik..... )

Kalang Sunda : " Kaula hanteu butuh ku bidadari ! Montong teuing engke di paeh mudu maraban bikang opat puluh. ayeuna oge di eukeur hirup pikeun kaula sorangan oge geus sakitu susah payahna ! "

( Aku tidak butuh bidadari. Kebayang aku harus memberi makan 40 bidadari. Buat makan sekarang saja sudah begitu susahnya ! )

Dialog antar dua orang sakti Pajajaran ini memang lucu juga. Satu karuhun dua keyakinan bisa membuat sebuah dialog menjadi tidak nyambung. Namun hal lain yang dapat kita tangkap, masalah keyakinan ini memang menjadi isu panas saat itu. 

Singkat cerita, pertarungan terus berlangsung hingga pantai selatan. Di tempat ini Rahyang Kumbang Bagus Setra gugur ditangan Jaya Antea. Namun di tempat ini juga Jaya Antea tewas di tangan Kalang Sunda. Ini pertempuran legendaris karena keduanya merupakan pendekar terkemuka di jamannya. Tempat dimana Kalang Sunda dan Jaya Antea bertempur diabadikan menjadi tempat bernama Jayanti, nama itu dipakai hingga kini. 

Ya, tidak banyak terungkap bahwa kisah keruntuhan Pajajaran sebetulnya diwarnai dengan kisah cinta segitiga, pengkhianatan seorang ponggawa terhadap negaranya, gesekan keyakinan, hingga pertempuran sampai akhir. 

Tetapi menuduhkan keruntuhan Pajajaran pada cinta dan pengkhianatan semata tidaklah bijaksana. Sepeninggalan Sri Baduga Maharaja, memang tidak lagi lahir raja setangguh beliau. Sebelum Raga Mulya bertahta, Pajajaran telah dilanda mendung tak berkesudahan. Rakyat banyak yang menderita kelaparan. sementara Raja Nilakendra abai dengan apa yang sedang terjadi. Beliau lebih sibuk dengan urusan kebatinan dan proyek mempermegah istana. Saat itu Pakuan sudah mulai banyak ditinggalkan penduduknya.

Kehadiran Prabu Sedah Raga Mulya Suryakancana sudah tidak mampu lagi perubahan jaman. Ditambah dengan... cinta, pengkhianatan, perbedaan keyakinan,... dan akhirnya peperangan itu yang menyudahi segalanya. 

Sisa terakhir pasukan banten telah dihalau. Jaya Antea sang pemimpin telah berkalang air - tubuhnya dilempar ke laut. Tetapi kisah belum selesai. Malah babak baru sesunguhnya baru saja dimulai. Pada saat pelarian itu Nyi Purnamasari sedang hamil 5 bulan. Ki Kalang Sunda mencari tempat yang aman untuk junjungannya agar selamat selama persalinan. Ditemukanlah tempat yang bernama Babakan Cidadap, di sebuah mata air yang bernaung dibawah pohon dadap tak jauh dari sungai Cimandiri.

Sebenarnya di daerah ini telah hadir penduduk asli setempat dengan puun sebagai kepala kampung. Saat itu puun yang memimpin adalah Ki Saragosa, Ki Gandana, dan Ki Sanaya. Sehingga pada saat Nyi Purnamasari melahirkan, mereka dengan dibantu masyarakat setempatlah yang bergotong royong membantu persalinan. Bayi lahir sehat dan berjenis kelamin perempuan. Kemudian diberi nama Nyi Mayang Sagara.

Kedatangan Nyi Purnamasari membawa berkah tersendiri bagi Cidadap. Cidadap tumbuh menjadi pelabuhan ramai, dan penduduknya kian berkembang. Para puun kemudian sepakat mengangkat Nyi Purnama sari menjadi puun Nyi Ratu Purnamasari. Itulah kali pertama kata ratu dipergunakan. Namun ekonomi yang meningkat juga memancing kedatangan bajak laut (bajo) yang terkenal ganas yang kala itu datang dari Nusa Barung, Jawa Timur. Dua kali mereka datang, dua kali para bajo ditaklukkan. Kepemimpinan Nyi Ratu terbukti berhasil mengamankan dan memakmurkan wilayah ini. Sehingga nama Cidadap makin berkibar saja.

Sebagaimana tradisi karuhun, pada masa keemasan Cidadap Nyi Ratu mengambil keputusan untuk melakukan tapa. Lokasi yang dipilih adalah desa Cicareuh Kecamatan Warungkiara sekarang. Sedangkan kekuasaan sementara dipegang oleh ketiga puun semula. Sedikit terjadi kemunduran pada saat Cidadap ditinggalkan Nyi Ratu. Untuk menggairahkan kembali perdagangan di Cidadap, maka lokasi pelabuhan di pindahkan ke seberang sungai Cimandiri, dimana sekarang berdiri tempat pelelangan ikan.

Sejalan dengan beranjak dewasanya Nyi Mayang sagara, maka ketiga puun sepakat menyerahkan kembali tampuk pimpinan kepada putri Nyi Ratu tersebut, yang kemudian bergelar Nyi Ratu Kidul. Kemudian nama pelabuhan pun diganti menjadi Palabuan Nyi Ratu. Lidah urang Sunda menyingkatnya menjadi Palabuan Ratu. Tata bahasa menjadikannya Palabuhanratu.

Nyi Ratu Kidul kemudian menikah dengan RAHYANG BAGUS SANGGA LARAPAN, turunan bangsawan Pakuan Gunung Tambaga. Pada masa ini Palabuhanratu mencapai masa keemasannya. Wilayahnya terbentang dari lebak sampai Gebang Kuning Garut.

Setelah itu sejarah tak mencatat apapun mengenai Palabuhanratu. Hanya kenangan bahwa wilayah ini pernah diperintah dua ratu, sehingga nama Lara Kidul (dua Ratu Kidul) kemungkinan berasal dari masa ini. Kenapa sekarang penduduk Palabuhanratu begitu gelap terhadap asal usulnya. Kemungkinan ada mata rantai yang terputus karena terjadinya bencana alam yang mahadahsyat menimpa Palabuhanratu.

Kala itu 26 - 27 Agustus 1883, gunung Krakatau meletus disusul tsunami yang dahsyat menyapu pesisir pantai selatan Jawa. Letusan itu sangat dahsyat; awan panas dan tsunami yang menewaskan sekitar 36.000 jiwa ( banyak sekali saat itu). Suara letusan itu terdengar sampai di Alice Springs, Australia dan Pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II.

Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hingga New York.

Melihat dahsyatnya bencana alam krakatau tersebut, kita menganggap 'peradaban' Palabuhanratu turut musnah, sehingga hanya menyisakan sedikit tentang kejayaan yang pernah terjadi di wilayah tersebut. Mereka yang menghuni daerah ini kemungkinan generasi kedua atau pendatang baru sama sekali, dan tak punya kaitan dengan silsilah dua Ratu tadi.

6 komentar:

  1. Saya yang lahir di palabuan ratu aja baru baca ceritanya,sedikit banyak memberikan pencerahan tentang asal usul tanah kelahiran

    BalasHapus
  2. Saya yang lahir di palabuan ratu aja baru baca ceritanya,sedikit banyak memberikan pencerahan tentang asal usul tanah kelahiran

    BalasHapus
  3. Kalau boleh tau referensi dari cerita ini dari mana?? apakah hanya cerita dari mulut ke mulut, atau memang terdapat dalam sebuah tulisan atau prasasti??..

    BalasHapus
  4. harus dibuat komunitas sejarah atau musium agar masyarakat disanah tau sejarah ini, dan juga bisa menarik wisata hingga kota kita tercinta dikenal seluruh bangsa.

    zenalarifin978@gmail.com

    BalasHapus
  5. dari bacaan di atas otak saya jauh mengingat bagaimana karuhun berjuang mempertahankan daerahnya..dan memebayangkan bagaiman jikalau saya jadi pelakunya pada waktu itu....pasti seru....

    BalasHapus

Followers

Follow The Author